Cari Blog Ini

Kamis, 13 Oktober 2011

askep fraktur


BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

Dalam bab ini akan diuraikan mengenai anatomi fisiologi, definisi, etiologi, patofisiologi, manifestasi klinis, pemeriksaan diagnostik, penatalaksanaan dan komplikasi mengenai Fraktur yang diperoleh dari studi kepustakaan. Untuk lebih jelas dan mudah dipahami maka akan dibahas satu persatu seperti dibawah ini:

A.    Konsep Dasar Penyakit
  1. Anatomi dan fisiologi














Gambar 2.1: Anatomi Tulang iga (www.laboratorium.dist.unige.it)

Tulang membentuk rangka penunjang dan pelindung bagi tubuh dan tempat untuk melekatnya otot-otot yang menggerakkan kerangka tubuh. Selain itu tulang juga merupakan tempat memproduksi sel-sel darah dan merupakan tempat primer untuk menyimpan dan mengatur kalsium dan fosfat. Komponen-komponen utama dari jaringan tulang adalah mineral-mineral dan jaringan organik (kolagen & proteoglikan). Hampir semua tulang berongga di bagian tengahnya. Struktur demikian memaksimalkan kekuatan otot struktur-strukur tulang dengan bahan yang relatif kecil atau ringan. Kekuatan tambahan diperoleh dari susunan kolagen dan mineral dalam jaringan tulang. Jaringan tulang dapat berbentuk anyaman atau lameral. Tulang yang berbentuk anyaman terlihat saat pertumbuhan cepat, seperti sewaktu perkembangan janin atau sesudah terjadinya patah tulang. Selanjutnya keadaan ini akan diganti oleh tulang yang lebih dewasa yang berbentuk lameral (Price & Wilson, 1991).     
        
  1. Pengertian
a.       Fraktur adalah terputusnya kontinuitas tulang. Kebanyakan fraktur akibat dari trauma; beberapa fraktur sekunder terhadap proses penyakit seperti osteoporosis, yang menyebabkan fraktur-fraktur yang patologis (Barret dan Bryant, 1990).
b.      Fraktur terbuka adalah fraktur di mana kulit dari ekstremitas yang terlibat telah ditembus (Price & Wilson, 1991).
c.       Fraktur tertutup (fraktur komplikasi/kompleks) merupakan fraktur dengan luka pada kulit atau membran mukosa sampai ke patahan tulang (Brunner & Suddarth,  2001).
d.      Hemothorax adalah pengumpulan darah di dalam rongga pleura (Kamus saku kedokteran. EGC, 1996).
e.       Hemotoraks adalah pengumpulan darah dalam ruang potensial antara pleura viseral dan parietal (Kapita Selekta Kedokteran, 2000).
f.       Pneumotoraks adalah adanya udara dalam rongga pleura akibat robeknya pleura (Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit.EGC, 2005).    

  1. etiologi
a.       Cedera dan benturan seperti pukulan langsung, gaya meremuk, gerakan puntir, mendadak dan kontraksi otot ekstrim.
b.      Letih karena otot tidak dapat mengabsorbsi energi seperti berjalan kaki terlalu jauh.
c.       Kelemahan tulang akibat penyakit kanker atau osteoporosis pada fraktur patologis.
(Perawatpsikiatri.blogspot.com, 2009)

Menurut Oswari E, ( 1993), penyebab Fraktur adalah:
a.       Kekerasan langsung. Kekerasan langsung menyebabkan patah tulang pada titik terjadinya kekerasan. Fraktur demikian sering bersifat fraktur terbuka dengan  garis patah melintang atau miring.
b.      Kekerasan tidak langsung: Kekerasan tidak langsung menyebabkan patah tulang di tempat yang jauh dari tempat terjadinya kekerasan. Yang patah biasanya adalah bagian yang paling lemah dalam jalur hantaran vektor kekerasan.
c.       Kekerasan akibat tarikan otot: Patah tulang akibat tarikan otot sangat jarang terjadi. Kekuatan dapat berupa pemuntiran, penekukan dan penekanan, kombinasi dari ketiganya dan penarikan.

      4.  Klasifikasi fraktur
                  Ada beberapa klasifikasi fraktur menurut Hardiyani (1998) sebagai berikut:
a.       Berdasarkan tempat (fraktur humerus, tibia, klavikula dan kruris).
b.      Berdasarkan luas dan garis fraktur terdiri dari:
1).          Fraktur komplit (garis patah melalui seluruh penampang tulang atau melalui kedua korteks tulang).
2).          Fraktur tidak komplit (bila garis patah tidak melalui seluruh garis penampang tulang).
c.       Berdasarkan bentuk dan jumlah garis patah:
1).          Fraktur komplit (garis patah lebih dari satu dan saling berhubungan).
2).          Fraktur segmental (garis patah lebih dari satu tetapi tidak berhubungan).
3).          Fraktur multipel (garis patah lebih dari satu tetapi pada tulang yang berlainan tempatnya, misalnya fraktur humerus, fraktur femur dan sebagainya
d.      Berdasarkan posisi fragmen:
1).          Undisplaced (tidak bergeser)/garis patah komplit tetapi kedua fragmen tidak bergeser.
2).          Displaced (bergeser)/terjadi pergeseran fragmen fraktur.
e.       Berdasarkan hubungan fraktur dengan dunia luar:
1).          Tertutup.
2).          Terbuka (adanya perlukaan di kulit).
f.       Berdasarkan bentuk garis fraktur dan hubungan dengan mekanisme trauma:
1).          Garis patah melintang.
2).          Oblik/miring.
3).          Spiral/melingkari tulang.
4).          Kompresi.
g.      Berdasarkan kedudukan tulang:
1).          Tidak ada dislokasi.
2).          Ada dislokasi.
h.      Berdasarkan mekanisme terjadinya fraktur:
1).          Tipe ekstensi: Trauma terjadinya ketika siku dalam posisi hiperekstensi, lengan bawah dalam posisi supinasi.
2).          Tipe fleksi: Trauma terjadi ketika siku dalam posisi fleksi, sedang lengan dalam posisi pronasi.
(Mansjoer, et al, 2000).







5.      Patofisiologi
Fraktur dapat disebabkan pukulan langsung, gaya meremuk, gerakan puntir mendadak bahkan kontraksi otot ekstrim, meskipun tulang patah jaringan di sekitarnya juga akan terpengaruh, mengakibatkan adanya jaringan lunak, perdarahan otot dan sendi, dislokasi sendi, ruptur tendon, kerusakan saraf dan kerusakan pembuluh darah (Brunner and Suddarth,  2002).
Komplikasi awal setelah fraktur adalah syock, yang bisa berakibat fatal dalam beberapa jam setelah cedera emboli lemak yang dapat terjadi dalam 48 jam atau lebih, dan sindrom kompartemen, yang berakibat kehilangan fungsi ekstremitas permanen jika tidak ditangani segera. Komplikasi awal lainnya yang berhubungan dengan  fraktur adalah infeksi, trombo emboli (emboli paru), yang dapat menyebabkan kematian beberapa minggu setelah cedera dan Koagulapati Introvaskuler Diseminata (KID).
Pada saat terjadinya fraktur, globula lemak dapat masuk ke dalam tubuh karena tekanan sumsum tulang lebih tinggi dari tekanan kapiler atau karena katekolamin yang dilepaskan oleh reaksi stres klien akan memobilisasi asam lemak akan bergabung dengan trombosit membentuk emboli, yang kemudian menyambut pembuluh darah kecil yang memasok ke otak, paru, ginjal dan organ lain. Awitan gejalanya yang sangat cepat, dapat terjadi beberapa jam sampai satu minggu setelah cedera, namun paling sering terjadi dalam 24 - 72 jam.
Gambaran khasnya berupa hipoksia, takipnea, takikardia, piraksia, gangguan serebral diperlihatkan dengan adanya perubahan status mental yang bervariasi dari agitasi ringan dan kebingungan, sampai delirium dan koma yang terjadi sebagai respons terhadap hipoksia, akibat penyumbatan emboli dan mengakibatkan lemah di otak.
Dengan adanya emboli sistemik klien tampak pucat. Tampak ada petekie pada membran pipi dan kantung konjungtiva, pada palatum turun, pada fundus okuli, di atas dada dan lipatan ketiak depan.
Perubahan kepribadian tersembunyi gelisah, iritabilitas atau konfusi pada klien yang mengalami fraktur merupakan petunjuk untuk dilakukan pemeriksaan gas darah. Penyumbatan pembuluh darah kecil mengakibatkan tekanan paru meningkat, kemungkinan mengakibatkan gagal jantung ventrikel kanan. Edema dan perdarahan pada alveoli mengganggu transportasi O2 mengakibatkan hipoksia. Terjadinya peningkatan kecepatan respirasi, nyeri pada prekordial, batuk, dispnea dan edema paru akut (Brunner and Suddarth,  2002).
























PATOFLOWDIAGRAM
trAUMA
Tekanan lebih besar terhadap tulang sekitar
Fraktur/terputusnya kontinuitas jaringan tulang
 




Penyumbatan pembuluh darah kecil
 
Reseptor pelepasan zat histamin, nosiseptor, bradikinin, serotinin dan prostaglandin  
 
Inflamasi
 
 
 






















(Smeltzer and Bare, 2001)
6.    Manifestasi Klinis
a.       Nyeri terus menerus dan bertambah berat sampai fragmen tulang diimmobilisasi. Spasme otot yang menyertai fraktur merupakan bentuk bidai alamiah yang dirancang untuk meminimalkan gerakan antar fragmen tulang.
b.      Deformitas dapat disebabkan pergeseran fragmen pada eksremitas. Deformitas dapat diketahui dengan membandingkan ekstremitas normal. Ekstremitas tidak dapat berfungsi dengan baik karena fungsi normal otot bergantung pada integritas tulang tempat melengketnya otot.
c.       Pemendekan tulang, karena kontraksi otot yang melekat di atas dan di bawah tempat fraktur. Fragmen sering saling melingkupi satu sama lain sampai 2,5 - 5,5 cm.
d.      Krepitasi yaitu pada saat ekstremitas diperiksa dengan tangan, teraba ada derik tulang. Krepitasi yang teraba akibat gesekan antar fragmen satu dengan lainnya.
e.       Pembengkakan dan perubahan warna lokal pada kulit terjadi akibat trauma dan perdarahan yang mengikuti fraktur. Tanda ini baru terjadi setelah beberapa jam atau beberapa hari setelah cedera.
(Perawatpsikiatri.blogspot.com, 2009)
7.      Pemeriksaan Penunjang
a.       Radiologi:
Pada X-Ray dapat dilihat gambaran fraktur, deformitas dan metalikmen. Venogram/anterogram menggambarkan arus vaskularisasi. CT scan untuk mendeteksi struktur fraktur yang kompleks.
b.      Laboratorium:
Pada fraktur tes laboratorium yang perlu diketahui: Hb, hematokrit sering rendah akibat perdarahan, laju endap darah (LED) meningkat bila kerusakan jaringan lunak sangat luas. Pada masa penyembuhan Ca dan P meningkat dalam darah.
(Perawatpsikiatri.blogspot.com, 2009)

8.      Penatalaksanaan Fraktur
a.       Tujuan pengobatan fraktur
1).    Reposisi dengan maksud mengembalikan fragmen-fragmen ke posisi anatomi.
2).    Immobilisasi atau fiksasi dengan tujuan mempertahankan posisi fragmen-fragmen tulang tersebut setelah direposisi sampai terjadi union.
3).    Penyambungan fraktur (union).
4).    Mengembalikan fungsi (rehabilitasi).
b.      Prinsip dasar penanganan fraktur
1).    Revive, yaitu penilaian cepat untuk mencegah kematian, apabila pernafasan ada hambatan dilakukan terapi ABC (Airway, Breathing, Circulation) agar pernapasan lancar.
2).    Review, berupa pemeriksaan fisik meliputi: Look feel, novemert dan pemeriksaan fisik yang dilengkapi dengan foto ronsen untuk memastikan adanya fraktur.
3).    Repair, yaitu tindakan pembedahan berupa tindakan operatif dan konservatif. Tindakan operatif meliputi: Orif, Oref, menjahit luka dan menjahit pembuluh darah yang robek, sedangkan tindakan konservatif berupa pemasangan gips dan traksi.
4).    Refer, yaitu berupa pemindahan klien ke tempat lain, yang dilakukan dengan hati-hati, sehingga tidak memperparah luka yang diderita.
5).    Rehabilitation, yaitu memperbaiki fungsi secara optimal untuk bisa produktif.
(Perawatpsikiatri.blogspot.com, 2009)

9.      Komplikasi Fraktur
a.       Malunion, adalah suatu keadaan di mana tulang yang patah telah sembuh dalam posisi yang tidak pada seharusnya, membentuk sudut atau miring.
b.      Delayed union, adalah proses penyembuhan yang berjalan terus menerus tetapi dengan kecepatan yang lebih lambat dari keadaan normal.
c.       Nonunion, patah tulang yang tidak menyambung kembali.
d.      Compartment syndroma, adalah suatu keadaan peningkatan tekanan yang berlebihan di dalam satu ruangan yang disebabkan perdarahan masif pada suatu tempat.
e.       Shock, terjadi karena kehilangan banyak darah dan meningkatnya permeabilitas kapiler yang bisa menyebabkan menurunnya oksigenasi. Ini biasanya terjadi pada fraktur.
f.       Fat embolsim syndroma, tetesan lemak masuk ke dalam pembuluh darah. Faktor penyebab terjadinya emboli lemak meningkat pada laki-laki usia 20-40 tahun, usia 70 - 80 tahun.
g.      Tromboembolic complicastion, trombo vena dalam sering terjadi pada individu yang immobil dalam waktu yang lama karena trauma atau ketidakmampuan lazimnya komplikasi pada perbedaan ekstremitas bawah atau trauma komplikasi paling fatal bila terjadi pada bedah ortopedik.
h.      Infeksi, sistem pertahanan tubuh rusak bila ada trauma pada jaringan. Pada trauma orthopedic infeksi dimulai pada kulit (superficial) dan masuk ke dalam. Ini biasanya terjadi pada kasus fraktur terbuka, tetapi bisa juga karena penggunaan bahan lain dalam pembedahan seperti pin dan plat.
i.        Avascular necrosis, pada umumnya berkaitan dengan aseptika atau neckosis iskemia.
j.        Reflekss symphathethic dysthrophy, hal ini disebabkan oleh hiperaktif sistem saraf simpatik abnormal. Sindroma ini belum banyak dimengerti. Mungkin karena nyeri, perubahan tropik dan vasomotor instability.
(Perawatpsikiatri.blogspot.com, 2009)


10.  Proses Penyembuhan Tulang
a.       Stadium satu: Pembentukan hematoma. Pembuluh darah robek dan terbentuk hematoma di sekitar daerah fraktur.
b.      Stadium dua: Proliferasi seluler, sel-sel yang mengalami poliferasi ini terus masuk ke dalam lapisan yang lebih dalam dan di sanalah osteoblast ber-regenerasi dan terjadi proses osteogenesis.
c.       Stadium tiga: Pembentukan kallus, sel-sel yang berkembang memiliki potensi yang kondrogenik dan osteogenik (bersifat menghasilkan/ membentuk tulang), bila diberikan keadaan yang tepat, sel itu akan mulai membentuk tulang dan juga kartilago.
d.      Stadium empat: Konsolidasi: sistem ini sekarang cukup kaku dan memungkinkan osteoblast menerobos melalui reruntuhan pada garis fraktur dan tepat di belakangnya, osteoblast mengisi celah-celah yang tersisa di antara fragmen dengan tulang yang baru.
e.       Stadium lima: Remodelling: Fraktur telah dijembatani oleh suatu manset tulang yang padat. Selama beberapa bulan atau tahun, pengelasan kasar ini dibentuk ulang oleh proses resorbsi dan pembentukan tulang yang terus menerus.
(Perawatpsikiatri.blogspot.com, 2009)

B.     Konsep Dasar Keperawatan
1.      Pengkajian
Pengkajian merupakan tahap awal dari proses keperawatan dan merupakan proses yang sistematis dalam pengumpulan data sebagai sumber data untuk mengevaluasi dan mengidentifikasi status kesehatan klien. Tahap pengkajian merupakan dasar utama dalam memberikan asuhan keperawatan sesuai kebutuhan individu, sehingga pengkajian akurat, lengkap, sesuai kenyataan dan kebenaran data yang sangat penting untuk merumuskan diagnosa keperawatan.
Dalam tahapan ini dilakukan pengumpulan data yag terdiri dari tiga metode yaitu komunikasi efektif, observasi dan pemeriksaan fisik. Data yang dikumpulkan terdiri atas data dasar dan data fokus (Nursalam, 2001).
            P          : Provokatif atau Paliatif
                          Apakah yang menyebabkan gejala? Apa saja yang mengurangi atau memperberatnya?
            Q         : Kualitas atau Kuantitas
                           Bagaimana gejala dirasakan nampak atau terdengar? Sejauh mana anda merasakannya sekarang.
             R        : Regional atau Area Radiasi
                          Di mana gejala terasa? Apakah menyebar?
             S         : Skala keparahan
                          Seberapa keparahan dirasakan dengan skala 1 sampai 10 (paling parah)
             T         : Timing (waktu)
                          Kapan gejala mulai timbul? Seberapa sering gejala terasa? Apakah tiba-tiba atau bertahap?
(Priharjo, 1996).
Berikut adalah cara pengumpulan data menurut pola Gordon:
a.       Pola persepsi dan pemeliharaan kesehatan
Data Subjektif
1).    Kaji tingkat pengetahuan klien dan keluarga tentang pengobatan dan pemeliharaan kesehatan.
2).    Kaji riwayat penyakit yang pernah dialami klien sebelumnya.
3).    Apa upaya yang dilakukan untuk mempertahankan kesehatan dan pencegahan penyakit.
4).    Apa yang dilakukan bila klien mengalami gangguan kesehatan.
Data Objektif
1).    Observasi penyampaian-penyampaian dan keadaan fisik klien.
2).    Kaji kebersihan klien dan kebutuhan ADL sehari-hari.
b.      Pola nutrisi metabolik
Data subjektif
1).    Tanyakan minuman dan makanan sehari-hari dalam 24 jam.
2).    Kaji makanan kesukaan dan yang tidak disukai klien.
3).    Kaji adanya gangguan menelan, mual dan muntah.
4).    Apakah ada alergi atau pantangan terhadap suatu makanan.
5).    Tanyakan frekuensi makan dan jumlah makanan yang mampu dihabiskan.
Data objektif
1).    Observasi dan kaji nilai laboratorium.
2).    Timbang berat badan dan catat hasilnya.
c.       Pola eliminasi
Data subjektif
1).    Tanyakan kebiasaan membuang air besar, teratur atau tidak, frekuensi dalam sehari, warna, konsistensi, adakah kesulitan saat membuang air besar dan bagaimana klien mengatasinya.
2).    Kaji frekuensi buang air kecil, apakah sering menahan miksi.
Data objektif
Observasi dan catat intake dan output setiap shift.
d.      Pola aktifitas dan latihan
Data subjektif
1).    Kaji tingkat aktifitas klien setiap hari.
2).    Tanyakan adanya keluhan lemah, nyeri saat beraktifitas.
Data objektif
1).    Kaji  tingkat aktifitas klien.
2).    Kaji kemampuan memenuhi kebutuhan ADL.
e.       Pola tidur dan istirahat
Data subjektif
1).    Tanyakan jumlah jam tidur semalam.
2).    Tanyakan kebiasaan dan jumlah tidur pada siang hari.
3).    Tanyakan kebiasaan sebelum tidur.
4).    Adanya kesulitan waktu tidur.
Data objektif
1).    Observasi keadaan lingkungan yang dapat mengganggu istirahat.
2).    Kaji faktor intrinsik klien yang dapat mengganggu istirahat.
f.       Pola persepsi kognitif
Data subjektif
1).    Tanyakan apakah klien mengalami nyeri perut, di mana lokasinya, apa yang menjadi pemicu atau yang meredakan.
2).    Tanyakan apakah klien menggunakan alat bantu pendengaran/ pengelihatan.
Data objektif
1).    Kaji kemampuan klien mengingat.
2).    Kaji tingkat pengetahuan dan pendidikan klien.
g.      Pola mekanisme koping
Data subjektif
1).    Tanyakan apakah klien sering merasa depresi atau cemas.
2).    Apakah ada kejadian tertentu yang mempengaruhi masalah ini.
3).    Apa yang dilakukan klien untuk menangani cemas atau stres.
4).    Siapa dan apa yang dapat membantu klien menangani stres.
Data objektif
Kaji respons klien terhadap penyakit.
h.      Pola peran sosial
Data subjektif
1).    Tanyakan apakah penyakit ini mempengaruhi klien dalam keluarga.
2).    Tanyakan apakah hubungan klien dengan keluarga, teman akan mengalami perubahan.
Data objektif
Kaji interaksi klien dengan klien di sebelah kiri, kanan dan dengan tenaga perawat dan dokter.
i.        Pola persepsi diri-konsep diri
Data subjektif
1).    Tanyakan kepada klien perasaan terhadap penyakitnya.
2).    Bagaimana masalah ini dapat membuat pandangan klien terhadap diri sendiri.
Data objektif
1).    Kaji adanya ungkapan rendah diri klien.
2).    Kaji respons verbal dan nonverbal klien.
j.        Pola seksual reproduksi
Data subjektif
Tanyakan apakah masalah ini mempengaruhi cara klien berpikir tentang diri klien sendiri sebagai seorang pria atau wanita.
Data objektif
1).    Mencatat perubahan kemampuan melakukan aktivitas seksual.
2).    Kaji respons verbal dan nonverbal klien.
k.      Pola nilai kepercayaan
Data subjektif
1).                        Tanyakan apakah klien menganut suatu kepercayaan tertentu.
2).                        Tanyakan kebebasan klien dalam melakukan ibadah.
Data objektif
Kaji respons verbal dan nonverbal klien.

2.      Diagnosa Keperawatan
Diagnosa keperawatan adalah masalah kesehatan aktual dan potensial di mana berdasarkan pendidikan dan pengalaman mampu, dan mempunyai kewenangan memberikan tindakan keperawatan (Nursalam, 2001).
Carpenito (2000), mendefinisikan bahwa diagnosa keperawatan adalah suatu pernyataan yang menjelaskan respons manusia (status kesehatan atau resiko perubahan pola) dari kelompok atau individu di mana perawat secara akuntabilitas dapat mengidentifikasi dan memberikan intervensi secara pasti untuk menjaga status kesehatan, menurunkan, membatasi, mencegah dan mengubah.
Tujuan dari diagnosa keperawatan yaitu untuk mengidentifikasi masalah di mana ada respons klien terhadap status atau penyakit; faktor-faktor yang menunjang/menyebabkan suatu masalah (etiologi), kemampuan klien untuk mencegah/menyelesaikan masalah (Nursalam, 2001).
Langkah-langkah dalam menentukan diagnosa keperawatan dapat dibedakan menjadi: Klasifikasi dan analisa data, interprestasi data, validasi data, dan perumusan diagnosa keperawatan. Menurut Nursalam, 2001, salah satu konsep atau dasar penentuan prioritas diagnosa keperawatan adalah:
a.       Hirarki "Maslow"


 







Kebutuhan fisiologis, O2, Co2, elektrolit, makanan, sex
 
contoh: Udara


Gambar 2.3: Hirarki “Maslow”
Keterangan:
1).    Kebutuhan fisiologis (Physiological Need)
Contoh: Udara segar, air, cairan, elektrolit, makanan, dan seks.
2).    Kebutuhan rasa aman (Safety Need)
Contoh: Terhindar dari penyakit, pencurian dan perlindungan hukum.
3).    Kebutuhan mencintai dan dicintai (Love Need)
Contoh: Mendambakan kasih sayang, ingin mencintai dan dicintai, diterima oleh kelompok.
4).    Kebutuhan harga diri (Esteem Need)
Contoh: Dihargai dan menghargai respek dari orang lain, toleransi dalam hidup berdampingan.
5).    Kebutuhan aktualisasi diri (Self Actualitation Need)
Contoh: Ingin diakui, berhasil dan menonjol dari orang lain.

b.      Hirarki "Kalish"
Kalish (1983) lebih menjelaskan kebutuhan Maslow dengan membagi kebutuhan fisiologis menjadi kebutuhan untuk "bertahan dan stimulasi". Kalish mengidentifikasikan dengan kebutuhan untuk mempertahankan hidup: Udara, air, temperatur, eliminasi, istirahat dan menghindari nyeri. Jika terjadi kekurangan kebutuhan tersebut klien cenderung menggunakan semua prasarana untuk memuaskan kebutuhan tertentu. Hanya saja mereka akan mempertimbangkan terlebih dahulu kebutuhan yang paling tinggi prioritasnya, misalnya keamanan atau harga diri, dikutip dari Iyer et, al, 1996 oleh Nursalam, 2001).
Adapun diagnosa keperawatan yang bisa muncul menurut Doenges (2000) pada klien fraktur adalah:
a.       Gangguan rasa nyaman: Nyeri berhubungan dengan spasme otot, gerakan fragmen tulang, terpasang traksi.
b.      Immobilitas fisik berhubungan dengan kerusakan rangka neuromuskular, nyeri, terapi restriktif.
c.       Kerusakan intergritas kulit berhubungan dengan pemasangan traksi, perubahan sensasi sirkulasi.
d.      Resiko tinggi terhadap infeksi berhubungan dengan kerusakan kulit, trauma jaringan.
e.       Kurang pengetahuan tentang kondisi, prognosis dan perawatan berhubungan dengan kurang informasi.

3.      Perencanaan
Setelah merumuskan diagnosa keperawatan langkah berikutnya adalah menentukan perencanaan, dalam menentukan perencanaan keperawatan perlu menyusun sistem, untuk menentukan diagnosa yang akan diambil tindakan (Nursalam, 2001).
Berdasarkan diagnosa keperawatan (Doenges, 1999) yang sering muncul pada klien dengan fraktur maka rencana keperawatan yang dapat dirumuskan adalah:
1).        Gangguan rasa nyaman: Nyeri berhubungan dengan spasme otot, gerakan fragma tulang, terpasang traksi/gips.
Tujuan: Nyeri hilang.
Kriteria hasil:
-          Ekspresi wajah rileks.
-          Klien tidak merintih.
-          TTV DBN.
Intervensi:
a).    Pertahankan immobilitas bagian yang sakit dengan tirah baring, gips.
Rasional :           Menghilangkan nyeri dan mencegah kesalahan posisi tulang/tegangan jaringan tulang yang cedera.
b).    Evaluasi keluhan nyeri/ketidaknyamanan, menggunakan skala nyeri 1-10.
Rasional :           Mempengaruhi pilihan/pengawasan keefektifan intervensi.
c).    Lakukan dan awali latihan rentang gerak pasif/aktif.
Rasional :           Mempertahankan kekuatan/mobilisasi otot yang sakit.
d).   Berikan obat sebelum perawatan.
Rasional :           Mengurangi nyeri.
2).        Immobilitas fisik berhubungan dengan kerusakan rangka neuromuskular, nyeri, terapi restriktif.
Tujuan: Mempertahankan posisi fungsional.
Kriteria hasil:
-          Dapat menunjukkan tehnik melakukan aktivitas atau menggerakkan tubuh.
Intervensi:
a).    Kaji derajat mobilitas dan perhatikan persepsi klien terhadap immobilisasi.
Rasional :           Klien mungkin dibatasi oleh pandangan diri/ persepsi diri tentang keterbatasan fisik.
b).    Instruksikan klien untuk/bantu dalam rentang gerak klien pada ekstremitas yang sakit dan yang tidak sakit.
Rasional :           Meningkatkan aliran darah keotot dan tulang untuk meningkatkan tonus otot, mempertahankan gerak sendi, mencegah kontraktur/atrofi otot.
c).    Dorong penggunaan latihan isometrik melalui tungkai yang tidak sakit.
Rasional :           Membantu mempertahankan kekuatan dan massa otot.
d).   Ubah posisi secara periodik dan dorong untuk latihan batuk/napas dalam.
Rasional :           Mencegah/menurunkan insiden komplikasi kulit/ pernapasan (contoh: Dekubitus, atelektasis, pneumonia).
3).        Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan pemasangan traksi/gips, perubahan sensasi sirkulasi.
Tujuan: Mempertahankan jaringan sirkulasi baik.
Kriteria hasil:
-          Tidak ada tanda-tanda gangguan permukaan kulit, destruksi lapisan kulit/jaringan.
-          Menyatakan ketidaknyamanan hilang.
Intervensi:
a).    Kaji kulit untuk luka terbuka, benda asing, kemerahan, perdarahan, perubahan warna, kelabu dan memutih.
Rasional :                 Memberi informasi tentang sirkulasi kulit dan masalah yang mungkin disebabkan alat dan atau pemasangan gips/traksi atau pembentukkan edema yang membutuhkan intervensi medik lanjut.
b).    Ubah posisi lebih sering.
Rasional :                 Mengurangi tekanan konstan pada area yang sama dan meminimalkan resiko kerusakan kulit.
c).    Kaji posisi alat traksi.
Rasional :                 Posisi yang tepat menyebabkan cedera kulit/kerusakan.
d).   Observasi untuk potensial area yang tertekan khususnya pada gips.
Rasional :                 Tekanan dapat menyebabkan ulserasi, nekrosis dan kelumpuhan saraf.
4).        Resiko tinggi terhadap infeksi berhubungan dengan kerusakan kulit, trauma jaringan.
Tujuan: Mencapai penyembuhan luka sesuai waktu dan mempertahankan agar tidak terjadi infeksi.
Kriteria hasil:
-          Tidak ada tanda-tanda infeksi.
-          Tidak demam.
Intervensi:
a).    Kaji atau perhatikan keluhan peningkatan infeksi lokal/ nekrosis jaringan yang dapat menimbulkan osteomilitis.
Rasional :                 Dapat mengidentifikasi timbulnya infeksi lokal/nekrosis jaringan yang dapat menimbulkan osteomilitis.
b).    Observasi luka untuk pembentukan bula, krepitasi, perubahan warna kecoklatan, bau drainase yang tidak enak.
Rasional :                 Tanda perkiraan infeksi gas gangren.
c).    Selidiki nyeri tiba-tiba/keterbatasan gerakan dengan edema, lekat/eritema ekstremitas cedera.
Rasional :                 Dapat  mengidentifikasi  terjadinya osteomilitis.
d).   Kaji tonus otot, refleks tendon dalam dan kemampuan untuk berbicara.
Rasional :                 Kekuatan otot, spasme teknik otot rahang, dan disfagia menunjukkan terjadinya tetanus.
5).        Kurang pengetahuan tentang kondisi, prognosis dan perawatan berhubungan dengan kurang informasi.
Tujuan: Klien dan keluarga mengerti penyakit, pengobatan dan perawatan.
Kriteria hasil:
-          Keluarga mengetahui dan tidak tampak bingung dengan perawatan yang diberikan.
Intervensi:
a).    Beri penguatan metode mobilitas dan ambulasi sesuai instruksi dengan terapis fisik bila diindikasikan.
Rasional :                 Kerusakan lanjut dan perlambatan penyembuhan dapat terjadi ketidaktepatan penggunaan alat ambulasi.
b).    Kaji ulang perawatan luka.
Rasional :                 Menurunkan resiko trauma tulang/jaringan dan infeksi yang dapat berlanjut menjadi osteomilits.
c).    Dorong klien melanjutkan aktifitas untuk sendi di atas dan di bawah  fraktur.
Rasional :                 Mencegah kekakuan sendi, kontraktur dan kelelahan otot.
4.      Pelaksanaan
Pelaksanaan tindakan keperawatan adalah inisiatif dari rencana tindakan untuk mencapai tujuan yang spesifik (Nursalam, 2001).
Tahap ini merupakan tahap keempat setelah rencana tindakan dirumuskan dan mengacu kepada rencana tindakan. (Dikutip dari Griffin, et al, 1986 oleh Nursalam, 2001)
Menurut Nursalam (2001), ada beberapa tahap dalam tindakan keperawatan yaitu:
a.       Tahap persiapan yang menuntut perawat mempersiapkan segala sesuatu yang diperlukan dalam tindakan.
b.      Tahap intervensi adalah kegiatan implementasi dari intervensi yang meliputi kegiatan interdependen (kerjasama dengan tim kesehatan lain), independen (mandiri) dan dependen (pelaksanaan dari tindakan medis).
c.       Tahap dokumentasi adalah pencatatan yang lengkap dan akurat terhadap suatu kejadian dalam proses keperawatan.

5.      Evaluasi
Evaluasi adalah salah satu yang direncanakan dan perbandingan yang sistematis pada status kesehatan klien. Dikutip dari Griffit dan Christensen, 1986.
Sedangkan Ignativicius dan Bayne (1994) mengatakan evaluasi adalah tindakan intelektual untuk melengkapi proses keperawatan yang menandakan seberapa jauh diagnosa keperawatan, rencana tindakan dan pelaksanannya sudah berhasil dicapai.
Tujuan evaluasi adalah untuk melihat kemampuan klien dalam mencapai kemampuan (Nursalam, 2001). Evaluasi terdiri dari dua jenis yaitu evaluasi formatif dan evaluasi sumatif. Evaluasi formatif disebut juga evaluasi proses, evaluasi jangka pendek, atau evaluasi berjalan, di mana evaluasi dilakukan secepatnya setelah tindakan keperawatan dilakukan sampai tujuan tercapai. Sedangkan evaluasi sumatif ini disebut evaluasi hasil evaluasi akhir, evaluasi jangka panjang. Evaluasi ini dilakukan pada akhir tindakan keperawatan paripurna dilakukan dan menjadi suatu metode dalam memonitor kualitas dan efisiensi tindakan yang diberikan. Bentuk evaluasi ini lazimnya menggunakan format “SOAP”. Dikutip dari Griffit dan Christensen, 1986. (Nursalam, 2001).
Evaluasi merupakan langkah ahkir dari proses keperawatan berasal dari hasil yang ditetapkan dalam rencana keperawatan, ada lima dalam aspek dokumentasi evaluasi: Mengapa, apa, kapan, di mana dan bagaimana
6.      Perencanaan Pulang
Informasi yang diberikan kepada klien dibuat sesuai dengan kebutuhan. Perawat harus mengkaji kesimpulan fisik untuk menjalankan perawatan diri klien. Adapun informasi yang diberikan kepada klien meliputi:
a.       Klien dan keluarga harus bisa merawat luka agar tidak terjadi infeksi.
b.      Klien harus mengetahui komplikasi yang mungkin timbul dari luka dan fraktur.
c.       Klien harus melakukan aktivitas sesuai kemampuan.
d.      Menjaga posisi daerah yang fraktur.
e.       Klien harus makan makanan yang bergizi agar dapat mempercepat proses penyembuhan.
f.       Merencanakan pemeriksaan ulang di rumah sakit.
(Doenges, 1999)

7.      Dokumentasi Keperawatan
Yang menjadi fokus pembahasan pada bagian ini bagaimana pendokumentasian data dilakukan dengan tahap-tahap asuhan keperawatan, dari pengkajian, diagnosa keperawaatan, intervensi, implementasi,   evaluasi dan perencanaan pulang.
Pengkajian dan dokumentasi yang lengkap tentang kebutuhan klien dapat meningkatkan efektifan asuhan keperawatan yang diberikan, melalui beberapa hal berikut ini: Mengambarkan kebutuhan klien untuk membuat diagnosa keprawatan dan menetapkan prioritas yang akurat sehingga perawat dapat menggunakan waktunya lebih efektif dan efisien, dalam membuat perencanaan, menggambarkan kebutuhan klien dan keluarga yang menunjukkan perencanaan pulang dan dokumentasi untuk informasi pengkajian yang bersifat penting.
Meskipun format dan metode dapat berubah tapi diagnosa keperawatan tetap menjadi langkah kedua untuk menentukan asuhan keperawatan selanjutnya. Dokumentasi tentang diagnosa biasanya memuat rencana keperawatan, gagasan untuk mempersingkat proses dalam perencanaan perawatan.
Dengan perencanaan yang akurat dan menyeluruh, perawat dapat memberikan perawatan yang terindividualisasi. Mengekspresikan rencana perawatan dalam bentuk dokumentasi akan meningkatkan kontinuitas dan konsistensi perawatan yang diberikan. Rencana perawatan yang  berdasarkan pengkajian dan diagnosa keperawatan selanjutnya, akan membeikan informasi yang esensial bagi keperawatan guna memberikan asuhan keperawatan yang berkualitas tinggi. Dokumentasi tentang perencanaan memuat hal-hal sebagai beikut: Diskusi perencanaan multidisiplin dan deskripsi tentang ciri esensial pendokumentasian tindakan, penyuluhan dan perencanaan pulang.
Dokumentasi implementasi meliputi: Catatan intervensi yang dipilih untuk memenuhi kebutuhan klien dan memantau perawatan yang diterima klien. Dalam dokumentasi ini, meliputi hal-hal sebagai berikut: Sistem klasifikasi intervensi keperawatan, dokumentasi kritis yang berhubungan dengan klien jatuh/penggunaan restrein, pendokumentasian perawatan psikososial.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar